Aku masih ingat waktu pertama kali jadi product manager kecil-kecilan: segalanya terasa seperti pesta post-it dan Slack yang tak ada habisnya. Ide muncul, desain dibuat, lalu jatuh ke lubang hitam proses manual — deploy di-attach lewat email, QA mengetik ulang test case, dan handoff desain ke dev sering berakhir dengan “apa maksudnya ini?”. Sejak saat itu aku mulai berburu tools digital dan otomasi yang bikin pengembangan produk terasa lebih ringan. Bukan karena ingin pamer teknologi, tapi karena ingin lebih banyak waktu buat mikir produk, bukan kirim email pengingat.
Mengapa otomasi bukan sekadar tren?
Otomasi itu bukan cuma soal mengganti kerja manusia dengan skrip. Bagi aku, otomasi adalah investasi produktivitas: mengurangi tugas repetitif, menjaga konsistensi, dan mempercepat eksperimen. Di era sekarang, bisnis yang lambat bereaksi biasanya kalah. Dengan pipeline CI/CD yang otomatis, misalnya, tim bisa deploy lebih sering dan aman. Dengan analytics tersetting otomatis, kita bisa tahu apakah fitur baru benar-benar dipakai. Tren teknologi saat ini juga mendukung hal ini: observability jadi mainstream, AI membantu generate code, dan low-code memberi akses buat orang non-teknis untuk ikut membangun. Intinya, otomasi itu memperluas kapasitas tim — bukan menggantikan orang.
Tools apa yang aku pakai sehari-hari?
Ada beberapa tools yang sudah jadi bagian rutin workflowku. Untuk desain dan prototyping aku pakai Figma; komponen yang reusable di sana seringkali memotong minggu kerja jadi beberapa hari. Dokumentasi dan roadmap? Notion atau Confluence — lebih rapi kalau pakai template. Project management? Dulu Jira membuat pusing, sekarang aku suka Linear atau Trello untuk tim kecil karena lebih cepat. Untuk engineering, GitHub Actions dan GitLab CI menjadi tulang punggung automasi build dan test; setiap PR berjalan melalui pipeline otomatis sehingga dev bisa yakin sebelum merge.
Pada sisi eksperimen dan analis, Mixpanel dan Hotjar membantu menjawab dua pertanyaan berbeda: apa yang dilakukan pengguna dan kenapa mereka melakukan itu. Untuk fitur yang butuh peluncuran bertahap aku mengandalkan feature flags seperti LaunchDarkly — nyaris wajib kalau mau mengurangi risiko deploy. Automasi integrasi antar aplikasi? Zapier atau Make (Integromat) sering kupakai untuk hal-hal non-kritis seperti sync leads, notifikasi, atau update spreadsheet otomatis. Dan satu lagi: untuk infrastruktur, Terraform membuat provisioning dapat direproduksi — ini menyelamatkan jam kerja saat migrasi.
Kalau butuh referensi atau template untuk memulai, aku pernah menemukan beberapa resource berguna di danyfy yang bisa jadi titik awal.
Bagaimana memulai tanpa keblinger?
Mulai dari masalah nyata. Jangan otomasi semua; pilih satu atau dua pain point yang paling menyita waktu. Contohnya, otomatisasi deploy, atau otomatisasi email onboarding. Terapkan pengukuran: berapa lama proses itu sebelumnya, berapa hemat setelah otomasi. Buat juga checklist untuk observability dan rollback — automasi hanya aman jika ada cara cepat memperbaiki kalau salah. Gunakan feature flags untuk deploy bertahap, dan sediakan alert bila metrik turun. Akhirnya, dokumentasikan. Tools hebat sekalipun tidak akan efektif kalau tak dipahami seluruh tim.
Ada cerita gagal juga, kan?
Tentu. Dua tahun lalu kami terburu-buru bikin automasi email welcome untuk pengguna baru. Skripnya salah konfigurasi sehingga beberapa pengguna menerima email test internal. Panik. Dari situ aku belajar tiga hal penting: selalu lakukan staging yang mirror ke production, tambahkan guardrail (misalnya whitelist recipient), dan review automatisasi sebagai code dengan peer review. Sekali lagi: otomasi mempercepat, tapi juga memperbanyak efek bila salah. Jadi jaga baik-baik.
Aku percaya kombinasi tools digital dan otomasi bukan solusi instan. Tapi kalau dipilih dan diterapkan dengan tepat, hasilnya bisa luar biasa: siklus pengembangan lebih cepat, tim lebih fokus pada masalah yang benar-benar penting, dan proses lebih bisa diukur. Cobalah satu otomasi kecil minggu ini. Rasakan bedanya. Kalau berhasil, tambahkan lagi. Kalau gagal, perbaiki dan dokumentasikan pelajaranmu. Semua perjalanan pengembangan produk memang soal iterasi — tidak hanya di fitur, tapi juga di cara kita bekerja.